Air yang Menghanyutkan, Sedekah yang Menyelamatkan: Hikmah di Balik Banjir 2025

Hujan yang turun tanpa jeda selama berhari-hari itu membuat banyak warga tak sempat bernapas lega. Sungai-sungai di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara meluap bersamaan, mengubah jalan-jalan menjadi arus deras yang menyeret apa saja yang dilewatinya.
Banjir besar 2025 bukan sekadar peristiwa alamiah; ia datang membawa peringatan, sekaligus membuka celah untuk menemukan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang kerap tertutup rutinitas.
Di sebuah mushala kecil yang separuh halamannya terendam, suara anak-anak terdengar riang saat menerima paket makanan. “Ini seperti hari raya,” kata salah satu dari mereka sambil menggenggam sekotak roti.
Paket itu berasal dari hasil patungan warga kampung sebelah — yang meski juga terdampak, tetap merasa perlu membantu. “Kalau bukan kita yang saling jaga, siapa lagi?” ujar seorang pedagang kecil yang ikut dalam penggalangan sedekah itu.
Di Padang Panjang, seorang guru honorer mengirimkan pesan singkat kepada murid-muridnya: mengajak mereka menyisihkan seribu rupiah untuk korban banjir. Tak diduga, ajakan itu menyebar ke orang tua murid, lalu ke warga sekitar, lalu ke komunitas daring.
Dalam dua hari, terhimpun cukup dana untuk membeli kebutuhan darurat—popok, selimut, hingga paket obat-obatan. “Sedekah itu tidak menunggu kaya,” katanya. “Sedekah itu menunggu peduli.”
Di Medan Labuhan, relawan mendatangi rumah-rumah yang masih terisolasi banjir dengan perahu kecil. Mereka membawa air mineral dan kotak P3K sambil menenangkan para lansia yang panik.
“Yang membuat saya kuat bukan barangnya, tapi perasaan bahwa masih ada yang memikirkan kami,” kata seorang nenek yang rumahnya tinggal menyisakan atap. Kata-katanya menegaskan bahwa sedekah bukan hanya urusan logistik; ia adalah suntikan keimanan, menyalakan kembali keyakinan bahwa Allah tidak meninggalkan hamba-hamba-Nya sendirian.
Banjir 2025 mengajari banyak hal. Bahwa manusia begitu kecil di hadapan alam, tetapi bisa menjadi besar lewat kepedulian. Bahwa air bisa menghanyutkan harta benda, tetapi tidak mampu menghanyutkan hati orang-orang yang memilih untuk berbagi.
Dan bahwa solidaritas yang sederhana — sebungkus nasi, selembar pakaian kering, atau sekadar menemani seseorang bercerita—sering kali lebih menyelamatkan daripada yang tampak di permukaan.
Di antara arus deras yang merobohkan jembatan dan merendam sawah, sedekah mengalir sebagai jembatan lain: jembatan batin yang menghubungkan satu manusia dengan manusia lain. Ia menjadi pengingat bahwa musibah bukan akhir, melainkan titik mula bagi kebaikan yang lebih luas. Air boleh menghanyutkan apa saja, tetapi sedekah, jika dilakukan bersama, selalu punya cara untuk menyelamatkan.

