Sedekah Sebagai Perisai Umat Di Tengah Musibah Banjir Dan Longsor

Air bah itu datang tanpa banyak bicara. Hujan yang mengguyur Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara sejak awal tahun 2025 mengubah sungai-sungai menjadi gelombang cokelat yang menerjang pemukiman, meruntuhkan tebing, dan menimbun jalan dengan lumpur tebal.
Di balik kerusakan yang memanjang, ada satu hal yang justru kembali menyala: solidaritas. Di gang-gang sempit, posko darurat, hingga mushala sederhana yang kini beralas tikar basah, cerita tentang sedekah mengalir sama derasnya dengan hujan yang tak kunjung reda.
Di Aceh Tamiang, seorang ibu muda membagikan roti hangat dari dapur kecil rumahnya yang ikut terendam. “Saya cuma ingin orang lain tidak lapar,” ujarnya pelan. Di Pasaman, Sumatera Barat, seorang petani yang ladangnya tertimbun longsor justru menyisihkan beberapa ikat sayur yang selamat untuk dapur umum.
Sedikit, memang. Tapi di tengah bencana, sedikit itu terasa seperti harapan yang terus dipertahankan.
Dalam tradisi Islam, sedekah kerap dipahami sebagai tameng — pelindung dari marabahaya, tetapi juga peneguh hati saat musibah tak terhindarkan. Para relawan yang turun ke lokasi bencana pun merasakan hal serupa.
Mereka menyaksikan bagaimana wajah-wajah letih para penyintas kembali berbinar ketika menerima bantuan sekadarnya: selimut kering, sebungkus nasi, atau sekadar senyuman yang membuat mereka merasa tidak sendirian. “Sedekah bukan hanya soal memberi,” kata seorang relawan di Padang Pariaman, “Tapi memastikan bahwa yang terdampak tetap punya alasan untuk bertahan.”
Kebiasaan berbagi itu menjelma menjadi kekuatan sosial yang mempersatukan masyarakat lintas daerah. Dari Medan, rombongan pemuda masjid mengumpulkan donasi untuk Aceh. Dari Bukittinggi, pelajar SMA menyisihkan uang jajan mereka untuk warga Sumut yang rumahnya hanyut.
Aksi-aksi sederhana itu bergerak seperti riak yang saling menyusul, membentuk gelombang besar kepedulian umat.
Musibah memang tidak mudah diterima. Namun di balik banjir dan longsor yang meratakan sawah dan merobohkan rumah-rumah, tumbuh keyakinan bahwa sedekah adalah perisai yang melindungi jiwa dari putus asa. Ia tidak menghalangi hujan untuk turun, tetapi menahan hati agar tidak patah.
Di sinilah sedekah bekerja paling sunyi, namun paling kuat: mengingatkan bahwa pada setiap puing, ada kesempatan untuk menyalakan kembali harapan. Di Sumatera yang porak-poranda itu, umat menemukan bahwa tangan yang saling menggenggam adalah kekuatan yang tak kalah penting dari dinding-dinding beton yang runtuh.

