Transparansi Nazhir: Kunci Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Wakaf

Kepercayaan adalah modal terbesar dalam setiap bentuk amanah, termasuk dalam pengelolaan wakaf. Di atas kertas, potensi wakaf di Indonesia luar biasa besar — mencapai ribuan triliun rupiah jika dihitung dari tanah dan wakaf tunai. Tapi di lapangan, realisasinya masih jauh dari harapan. Salah satu sebab utamanya adalah rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga pengelola wakaf atau nazhir.
Tak jarang kita mendengar kisah tanah wakaf yang tak jelas penggunaannya, atau laporan keuangan yang tidak pernah diumumkan kepada masyarakat. Alhasil, umat pun ragu untuk berwakaf.
“Bagaimana saya mau menyerahkan harta, kalau tidak tahu dikelola untuk apa?” begitu kira-kira suara hati banyak calon wakif (pemberi wakaf). Padahal, niat berwakaf seharusnya menjadi jalan menuju kebaikan abadi, bukan diselimuti kebingungan dan kecurigaan.
Dalam Islam, amanah adalah hal yang amat besar nilainya. Rasulullah SAW bersabda, “Tunaikanlah amanah kepada yang berhak menerimanya.” Prinsip itu seharusnya menjadi napas bagi setiap nazhir — bahwa mengelola wakaf bukan hanya urusan administrasi, melainkan tanggung jawab spiritual.
Namun tanpa transparansi, niat baik itu sulit tumbuh menjadi kepercayaan. Di sinilah pentingnya manajemen yang terbuka dan akuntabel.
Lembaga wakaf seharusnya tidak hanya menerima dan menyalurkan, tetapi juga melaporkan secara rutin kemana aliran dana dan hasil pengelolaannya. Laporan keuangan yang bisa diakses publik, sistem audit independen, hingga pemanfaatan teknologi seperti aplikasi digital atau blockchain bisa menjadi cara membangun kepercayaan umat.
Selain itu, nazhir perlu memahami bahwa kepercayaan tidak dibangun dalam semalam. Diperlukan profesionalisme dan komunikasi yang baik. Sebuah lembaga wakaf yang mampu mengedukasi masyarakat, melibatkan publik dalam prosesnya, dan terbuka terhadap kritik akan jauh lebih dipercaya dibanding yang berjalan tertutup.
Namun tanggung jawab tidak berhenti di nazhir saja. Umat juga perlu diedukasi tentang pentingnya menyalurkan wakaf melalui lembaga resmi dan terdaftar.
Karena itu, gerakan literasi wakaf harus terus digencarkan — lewat media sosial, khutbah Jumat, dan kurikulum sekolah Islam. Literasi ini akan membuat masyarakat memahami bagaimana wakaf bekerja, siapa yang mengelola, dan bagaimana mereka bisa ikut memantau.
Jika transparansi ditegakkan dan literasi meningkat, kepercayaan publik akan tumbuh kembali.
Ketika umat yakin bahwa harta wakaf mereka benar-benar bermanfaat dan dikelola secara profesional, maka semangat berwakaf akan menyala lebih terang. Saat itulah, wakaf tak hanya menjadi amal jariyah pribadi, tetapi juga fondasi kokoh bagi kesejahteraan umat yang berkelanjutan.

