Minimnya Literasi Wakaf di Masyarakat: Tantangan dan Harapan Baru

Kalau kita menyebut kata wakaf, sebagian besar orang mungkin langsung membayangkan masjid, tanah makam, atau bangunan pesantren. Padahal, makna wakaf jauh lebih luas dari itu.
Ia bukan sekadar amal ibadah, tapi juga instrumen sosial dan ekonomi yang bisa mengubah kehidupan umat. Sayangnya, di tengah semangat berderma yang tinggi, pemahaman tentang wakaf masih sangat terbatas.
Banyak umat Islam yang masih menyamakan wakaf dengan sedekah atau zakat. Padahal, ketiganya memiliki konsep berbeda. Zakat bersifat wajib dengan penerima yang sudah ditentukan dalam Al-Qur’an, sementara sedekah bersifat sukarela dan bisa diberikan kapan saja.
Adapun wakaf, ia adalah pemberian harta yang manfaatnya harus dijaga agar terus mengalir. Artinya, harta pokoknya tidak boleh habis, tetapi hasil pengelolaannya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Di sinilah letak keistimewaan wakaf — amalnya tak berhenti meski pemberinya telah tiada.
Namun sayangnya, di Indonesia, kesalahpahaman ini menyebabkan potensi wakaf belum tergarap maksimal. Badan Wakaf Indonesia (BWI) mencatat, potensi wakaf tanah dan uang mencapai ribuan triliun rupiah, tapi baru sebagian kecil yang termanfaatkan secara produktif.
Banyak masyarakat belum tahu bagaimana cara berwakaf uang, siapa yang mengelola, dan apa manfaatnya. Akibatnya, niat baik umat sering berhenti di sedekah sesaat, bukan pada program berkelanjutan yang memberi manfaat jangka panjang.
Lalu bagaimana solusinya?
Salah satu kuncinya adalah gerakan literasi wakaf. Literasi ini tidak cukup hanya lewat seminar formal, tapi juga harus hadir di berbagai ruang kehidupan umat.
Media sosial bisa menjadi jembatan yang efektif — lewat konten ringan, video pendek, atau kisah inspiratif tentang keberhasilan wakaf produktif. Bayangkan jika anak muda bisa melihat bahwa berwakaf tak harus menunggu kaya, tapi bisa dilakukan dengan nominal kecil lewat platform digital.
Selain itu, khutbah Jumat, majelis taklim, dan lembaga pendidikan Islam bisa memainkan peran penting. Materi tentang wakaf sebaiknya masuk dalam kurikulum ekonomi Islam, agar sejak dini generasi muda memahami bahwa harta bukan hanya untuk dikumpulkan, tapi juga untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan bersama.
Harapan baru mulai terlihat.
Kini, sejumlah lembaga keuangan syariah, kampus, dan ormas Islam mulai mendorong edukasi wakaf produktif. Gerakan ini bukan hanya soal uang dan aset, tapi juga tentang membangun kesadaran kolektif — bahwa wakaf adalah bentuk kecerdasan spiritual dan sosial umat Islam. Karena ketika umat memahami wakaf dengan benar, mereka bukan hanya menjadi pemberi, tapi juga pencipta keberkahan yang terus hidup lintas generasi.

