Bagaimana Nabi Muhammad SAW Membina Umat dalam Mengelola Zakat

Bagi umat Islam, zakat sering diingat sebagai kewajiban tahunan yang harus ditunaikan. Namun, di tangan Rasulullah SAW, zakat bukan sekadar ritual ibadah, melainkan sebuah strategi sosial yang mampu mengangkat derajat masyarakat dan menumbuhkan budaya berbagi yang berkeadilan.
Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah menghadapi masyarakat yang sangat beragam: ada kaum Muhajirin yang meninggalkan seluruh harta di Makkah, kaum Anshar yang rela berbagi, hingga kelompok fakir miskin yang membutuhkan uluran tangan. Dalam kondisi itulah, zakat hadir sebagai sistem yang mengikat semua golongan.
Nabi menanamkan bahwa zakat bukan beban, tetapi jalan untuk membersihkan harta sekaligus menumbuhkan solidaritas. Strategi Rasulullah SAW dalam membina budaya zakat sangat menarik.
Pertama, beliau menanamkan kesadaran spiritual. Zakat dipahami bukan sekadar angka, tetapi bentuk tazkiyah — penyucian diri dari sifat kikir dan tamak. Dengan begitu, umat terdorong memberi bukan karena terpaksa, melainkan karena ingin membersihkan jiwa.
Kedua, Nabi membangun sistem yang rapi. Beliau mengutus amil zakat ke berbagai wilayah untuk mendata, mengumpulkan, dan mendistribusikan zakat sesuai delapan golongan penerima yang ditetapkan Al-Qur’an. Transparansi ini membuat masyarakat percaya bahwa zakat benar-benar kembali kepada mereka yang membutuhkan.
Ketiga, Rasulullah menekankan manfaat zakat bagi kemandirian umat. Harta yang disalurkan tidak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan darurat, tetapi juga untuk mengangkat taraf hidup. Penerima zakat diarahkan agar suatu saat mampu menjadi pemberi. Dengan begitu, zakat tidak melahirkan ketergantungan, melainkan menciptakan siklus kebaikan.
Salah satu contoh nyata adalah ketika Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman. Beliau berpesan agar mengajarkan kewajiban zakat kepada kaum Muslimin di sana, lalu hasil zakat digunakan kembali untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Prinsipnya sederhana: yang kaya menopang yang miskin, hingga jurang sosial bisa dipersempit.
Budaya zakat yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada akhirnya menciptakan masyarakat yang saling peduli. Bahkan, dalam beberapa masa setelah wafat beliau, tercatat hampir tidak ada lagi orang yang layak menerima zakat karena kemiskinan berhasil ditekan.
Hari ini, teladan Rasulullah dalam mengelola zakat tetap relevan. Di Indonesia, berbagai lembaga zakat seperti BAZNAS dan LAZ terus mengembangkan program zakat produktif.
Dana zakat tidak hanya dibagikan sebagai santunan, tetapi juga diwujudkan dalam modal usaha kecil, beasiswa pendidikan, hingga program kesehatan. Di beberapa daerah, zakat bahkan membantu petani mendapatkan alat pertanian modern, atau membantu nelayan memperoleh perahu yang lebih layak.
Semua ini adalah cermin bagaimana spirit zakat ala Rasulullah SAW tetap hidup: membebaskan dari kemiskinan, menumbuhkan kemandirian, dan memperkuat ikatan sosial.
Rasulullah SAW telah mencontohkan dengan sempurna: zakat bukan sekadar kewajiban individu, tetapi strategi sosial yang membangun umat. Kini, tugas kita adalah menghidupkan kembali semangat itu agar zakat benar-benar menjadi pilar keadilan dan kesejahteraan.

