Sedekah sebagai Wujud Syukur: Menjaga Hati dari Sifat Kikir dan Serakah

Bagi banyak orang, bersyukur sering dimaknai dengan ucapan “Alhamdulillah.” Namun, Islam mengajarkan bahwa syukur tidak berhenti pada lisan. Ia perlu diwujudkan dalam tindakan nyata — salah satunya lewat sedekah. Memberi sebagian harta yang kita miliki bukan sekadar membantu orang lain, tapi juga cara menjaga hati agar tak terjerat sifat kikir dan serakah.
Al-Qur’an menegaskan dalam Surah Ibrahim ayat 7: “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu kufur, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Syukur yang sejati adalah ketika nikmat yang diberikan Allah membuat kita semakin ringan tangan berbagi.
Kisah nyata bisa kita temui di banyak tempat. Ambil contoh Pak Hadi, seorang pegawai negeri di Semarang. Gajinya tak besar, tapi setiap bulan ia menyisihkan sebagian untuk membeli paket sembako bagi tetangga yang kurang mampu. “Saya merasa apa yang saya miliki ini titipan. Kalau tidak dibagi, hati saya jadi sempit,” ujarnya. Menariknya, ia mengaku hidupnya terasa lebih lapang sejak rutin bersedekah – meski secara hitungan, pengeluarannya bertambah.
Fenomena serupa dialami oleh Lina, seorang karyawan swasta di Jakarta. Saat menerima bonus tahunan, ia sengaja menyalurkannya untuk biaya pendidikan anak-anak yatim di panti asuhan. “Kalau saya pakai sendiri, bonus itu mungkin habis untuk belanja atau jalan-jalan. Tapi ketika disedekahkan, rasanya hati lebih bahagia,” katanya. Ia menuturkan, kebiasaan ini membuatnya lebih tahan terhadap godaan konsumtif yang sering mendorong sifat serakah.
Sedekah memang bekerja bukan hanya di ranah sosial, tapi juga psikologis. Orang yang rajin bersedekah terbiasa melawan rasa sayang berlebihan pada harta. Dari sinilah lahir jiwa yang tenang. Sebaliknya, orang yang kikir justru sering gelisah, takut hartanya berkurang, dan terjebak dalam keinginan tak berujung.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Takutlah kalian terhadap sifat kikir, karena sifat kikir telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Muslim). Kikir dan serakah membuat manusia buta terhadap nikmat yang sudah ada, selalu merasa kurang, dan rela melakukan apa saja demi menimbun harta.
Sedekah hadir sebagai obatnya. Dengan memberi, kita melatih diri untuk berkata pada hati: “Cukup itu milik Allah. Apa yang ada padaku hanyalah titipan.” Itulah wujud syukur yang sejati.
Pada akhirnya, sedekah bukan hanya soal membantu mereka yang kekurangan. Ia adalah jalan menjaga kesehatan hati. Dengan bersedekah, kita belajar merasa cukup, menumbuhkan syukur, dan melindungi diri dari sifat kikir dan serakah yang bisa menggerogoti jiwa.
Dan mungkin, cara paling sederhana memulainya adalah dengan hal-hal kecil: menyisihkan receh di kotak amal masjid, berbagi makanan dengan tetangga atau sekadar mentraktir teman yang membutuhkan. Dari kebiasaan kecil itulah hati akan terbiasa bersyukur. Karena syukur sejati bukan hanya diucapkan, melainkan dibuktikan dengan memberi.

