Membangun Kembali dari Puing-Puing: Sedekah sebagai Fondasi Bangkitnya Masyarakat Pasca Longsor

Pagi masih berkabut ketika warga di lereng Sumatera Barat mulai membersihkan sisa-sisa longsor yang meratakan rumah dan ladang mereka. Bau tanah basah bercampur dengan aroma kayu patah memenuhi udara. Di beberapa titik, hanya fondasi rumah yang tersisa—selebihnya hanyut bersama lumpur yang turun dari perbukitan.
Longsor akhir 2025 itu bukan hanya merusak bangunan, tetapi juga meninggalkan luka panjang pada kehidupan masyarakat. Namun perlahan, di antara puing-puing itu, tumbuh kembali semangat untuk bangkit — dan salah satu bahan bakarnya adalah sedekah.
Di Nagari yang terisolasi akibat jalan terputus, bantuan pertama datang bukan dari kota besar, melainkan dari kampung tetangga yang juga terdampak. Mereka membawa air bersih, beras, serta peralatan sederhana seperti cangkul dan sekop.
“Kami tidak banyak,” ujar seorang tokoh masyarakat, “tapi kalau menunggu lengkap, warga di atas sudah keburu kelaparan.” Gerakan spontan itu menyulut rangkaian sedekah yang kemudian mengalir dari berbagai penjuru.
Sedekah bukan hanya hadir dalam bentuk barang. Di Tapanuli Selatan, para pemuda desa menjadi tenaga sukarelawan untuk membantu membangun kembali dinding-dinding rumah warga. Mereka bekerja dari pagi hingga senja, menyusun bata sambil mendengarkan kisah para korban.
“Tenaga ini sedekah kami,” kata seorang pemuda yang tangannya penuh tanah. Di banyak tempat, tenaga seperti itu justru lebih berarti dibandingkan donasi besar yang datang belakangan.
Dalam proses pemulihan jangka panjang, sedekah ternyata mengambil peran yang lebih dalam. Ia bukan hanya menyelesaikan kebutuhan darurat, tetapi juga memulihkan tatanan sosial.
Di Aceh Tenggara, para petani yang kehilangan kebun saling berbagi bibit dengan siapa pun yang masih memiliki cadangan. Di Sumatera Utara, sekelompok ibu membentuk dapur komunitas yang tetap aktif jauh setelah masa tanggap darurat selesai.
“Kami memasak bukan hanya untuk makan bersama,” ujar salah satu ibu, “tapi untuk saling menjaga agar tidak menyerah.”
Pemulihan pasca-longor sering berjalan lebih lambat dibandingkan pemulihan pasca-banjir. Trauma lebih dalam, kerusakan lebih berat, dan biaya membangun kembali tidak kecil.
Namun kehadiran sedekah — baik dalam bentuk uang, makanan, tenaga, maupun waktu—menjadi fondasi yang membuat masyarakat tetap berdiri. Sedekah menciptakan ruang aman untuk berduka, namun juga ruang harapan untuk memulai ulang.
Longsor boleh meruntuhkan dinding dan atap, tetapi tidak harus meruntuhkan keyakinan bahwa masa depan masih bisa dirangkai. Dari puing-puing itu, masyarakat menemukan kembali bahwa bangkit tidak harus dimulai dari besar; cukup dari uluran tangan kecil yang datang tepat waktu. Dan sedekah, sekecil apa pun, selalu menjadi bata pertama dari rumah harapan yang ingin mereka bangun kembali.

